Power of View
Sigit Pramono,Ketua Umum Perhimpunan
Bank Nasional (Perbanas)

Menyiapkan Bank di Era Globalisasi

Era globalisasi pasti akan berdampak pada dunia perbankan. Bank harus siap.

Perekonomian Indonesia berkembang pesat. World Bank menyatakan Indonesia berada di peringkat 10 dunia berdasarkan Gross Domestic Product (GDP) purchasing power imparity. Berada diperingkat pertama adalah Amerika Serikat diikuti China.

"Tahun 2030 kita diharapkan menjadi negara dengan produk domestik bruto pada urutan enam atau tujuh besar dunia," ujar Sigit Pramono. “Indonesia luar biasa. Kita tidak bisa dianggap enteng,” katanya menekankan.

Tantangannya adalah negara dengan ekonomi yang luar biasa di masa depan ini juga memerlukan bank yang luar biasa. “Bank harus siap. Pasti ini akan berdampak pada dunia perbankan,” kata sosok yang sudah ketigakalinya ini menjadi Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas).

Menurut Sigit yang memperdalam ilmu manajemen internasional di Prasetiya Mulya Business School ini, banyak negara berkekuatan ekonomi besar juga memiliki bank besar. "Contohnya Cina, negara ini berhasil menyalip USA menjadi negara dengan GDP no 1 di dunia," ujarnya. Bank terbesar di dunia juga ada di Cina yaitu ICBC. Hal ini menunjukkan, negara dengan perekonomian yang besar, membutuhkan dukungan dari bank yang besar.

Bank terbesar di Indonesia adalah Bank Mandiri, di Asia Tenggara berada di no 10. "Kita bukan harus berbangga dengan posisi itu, tapi ketika perekonomian kita tumbuh, dan tidak didukung dengan kehadiran bank yang besar, para pelaku ekonomi akan lari ke bank asing yang memiliki modal besar – dimana bank kita tidak sanggup mendukung kebutuhan mereka," ujarnya. Sehingga berkah dari perkembangan ekonomi Indonesia akan lebih banyak dinikmati bank-bank asing, BUKAN bank milik negara/nasional.

Satu-satunya jalan menurut Sigit adalah membangun bank di negeri ini menjadi bank yang sangat besar, yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi bangsa ini, dengan menggugah nasionalisme agar kita tidak kalah dengan bank asing.

Tidak dipungkiri untuk mewujudkan impian punya bank besar pasti ada kendala, Sigit sadar, kendala yang akan ia hadapi sangat banyak. Menurutnya, kendala utama adalah faktor politik, pemerintah bisa saja punya niat kuat, tapi bagaimana mewujudkan gagasan ini kita tidak bisa memastikan, kita hanya bisa berharap dari pemerintahan saat ini bisa menyadarkan para pihak terkait. Kalau tidak kita akan tertinggal, dan negara terbesar di Asia Tenggara ini akan terpuruk menjadi negara yang paling terbelakang secara ekonomi.

Pemerintahlah yang punya andil untuk melakukan lobi politik untuk meyakinkan parlemen dan pihak pihak lainnya, termasuk jika ide merger menjadi salah satu pilihan untuk membentuk bank besar maka permasalahan juga dapat timbul dari internal bank-bank itu sendiri. Penolakan atau keengganan pihak bank yang akan dimerger juga menjadi salah satu kendala.

Memiliki bank besar menjadi keharusan mengingat untuk menjadi Qualified ASEAN Bank (QAB) belum ada bank dari Indonesia yang memenuhi syarat minimum permodalannya. Padahal Indonesia sudah sepakat mendukung integrasi perbankan ASEAN yang tertuang dalam ASEAN Banking Integration Framework (ABIF). Untuk bisa jadi QAB, modal bank harus di atas Rp 100 triliun tidak termasuk hitungan aset. Sampai saat ini, semua bank di Indonesia belum mencapai angka tersebut.

Selain modal dan teknologi menurut Sigit, salah satu yang harus dimiliki bank untuk melayani pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sumber daya manusia yang unggul. “Perbankan harus menyiapkan SDM berkualitas dalam melayani nasabah yang meningkat dengan kebutuhan yang beragam,” kata dia.

SDM berkualitas kian diperlukan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang hanya tinggal menghitung bulan. Bakal diterapkan mulai Desember 2015, MEA memungkinkan negara-negara ASEAN untuk melebarkan kegiatan ekonomi ke negara-negara tetangga di kawasan ini. “Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia tentunya memiliki potensi pasar yang diincar negara ASEAN lainnya,” ujarnya.

Menjadi SDM berkualitas tentu harus juga belajar di tempat tepat. Sigit mengisahkan bagaimana memperkaya ilmunya di Prasetiya Mulya, khususnya saat menjadi Wakil Presiden Direktur Bank Merincorp. “Waktu itu saya menjadi direksi di lembaga keuangan joint venture Jepang dan Amerika. Jadi saya perlu memperluas landasan teori sekaligus penerapannya,” katanya menjelaskan alasannya memilih ilmu manajemen internasional.

Di sana, ia menyerap ilmu dari para pengajar yang juga praktisi di bidangnya masing-masing. “Dengan pengajar seperti ini Prasetiya Mulya menggabungkan teori akademisi yang andal dan praktisi yang memiliki pengalaman luas, terutama pengalaman dalam pengambilan keputusan,” ujarnya.

Sigit mencatat, salah satu kemampuan yang harus segera dimiliki adalah menangani persoalan yang di era globalisasi ini menjadi lebih saling mengait. Berbagai faktor kini berperan dalam pengambilan keputusan di perbankan, baik faktor lokal maupun global. “Dalam pengambilan keputusan, bankir harus terlatih dalam mempertimbangkan banyak faktor,” kata dia lagi. “Proses pengambilan keputusan tersebut yang menentukan kualitas seorang pemimpin, baik dari level manajer maupun CEO,” katanya. Disebutkan juga peran dunia pendidikan dapat menjawab kebutuhan untuk mendidik SDM yang dituntut globalisasi.

http://pmbs.ac.id/s2/