Ratih Ibrahim
Keluarga, Kunci Memenangkan
Kompetisi Global

Keluarga, Kunci Memenangkan Kompetisi Global

SDM banyak bukan syarat utama memenangkan kompetisi dunia. Keluarga bertanggung jawab membentuk anak-anak dengan intelegensi yang bagus.

Bank Dunia memprediksi, Indonesia akan mempunyai pengaruh penting dalam kompetisi ekonomi dunia pada 2025. "Ada enam negara yang menyumbang setengah dari pertumbuhan ekonomi global. Yakni Cina, India, Brasil, Korea Selatan, Rusia, dan Indonesia," ujar Sri Mulyani Indraswati, Managing Director Bank Dunia, saat memberi kuliah umum di London School of Economics, Februari 2012.

Secara umum daya saing Indonesia mengalami peningkatan. Laporan Global Innovation Index 2013 World Economic Forum menyebutkan, Indonesia masuk kategori negara-negara efficiency-driven dan mampu meraih peringkat 38 dari 148 negara. Dari 12 pilar yang dinilai, kondisi ekonomi makro serta aspek kesehatan dan pendidikan dasar membaik. Sedangkan infrastruktur dan kesiapan teknologi masih rendah.

Namun tingkat daya saing Indonesia belum didukung sumberdaya manusia (SDM) berkualitas. Menurut Human Development Report 2011-2012, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia di urutan 108 dari 169 negara.  Dari total 124,42 juta tenaga kerja, 33,98 juta orang (27 persen) adalah lulusan SD. Sedangkan proporsi penduduk berpendidikan tinggi sekitar 9,2 persen.  Kondisi ini belum mendukung cita-cita Indonesia sebagai negara yang menguasai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi.

Bonus demograsi, jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang cukup besar, diperkirakan bertahan hingga 2035.  Dalam pandangan Ratih Ibrahim, psikolog dan founder PT Personal Growth, dari sisi kuantitas, Indonesia bisa dianggap negara super power. Namun memenangkan kompetisi pasar bebas ASEAN (AFTA) dan global bukan sesuatu yang  mudah. “Bonus demografi hanya dalam hal kuantitas, soal kualitas kita punya PR besar banget,”ujarnya .

Ratih membuat analogi, sebuah keluarga dengan 10 anak yang umumnya bekerja sebagi buruh tidak memiliki bargaining power tinggi dibanding keluarga dengan banyak anak, namun beberapa diantaranya bergelar Phd di bidang nuklir atau space science.

Dari delapan sasaran MDG (Millenium Development Goals), Indonesia masih berkutat pada hal-hal mendasar seperti meningkatkan kesehatan ibu dan menurunkan angka kematian bayi.

Untuk menjadi negara maju, Indonesia membutuhkan SDM yang mampu mengisi karir pipeline bidang infrastruktur, teknologi, pangan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Dari pengamatan Ratih, kendala terbesar adalah level of intelegensia SDM yang rendah atau IQ di bawah rata-rata. Salah satu sebabnya adalah nutrisi dalam asupan makanan yang sangat minim.

Untuk membuat harga pangan terjangkau, pemerintah bisa mengintervensi dengan teknologi dan inovasi atau memberikan subsidi pangan. Ironisnya, tidak sedikit keluarga berpendidikan yang membiarkan anak-anaknya mengalami obesitas dan malnutrisi karena kerap melahap makanan instan dan junk food. “Jika hardware dan software-nya oke, baru kita ngomongin stimulasi seperti kurikulum,”katanya.

Menurut Ratih, target menuju negara maju di 2025 bukan hal yang tidak bisa diraih. Sejak target itu dicanangkan, seharusnya ada kerja yang berkesinambungan dan melibatkan seluruh komponen bangsa. Pencapaian target juga menuntut kehadiran leaders yang mengajak semua kekuatan bergerak ke arah yang sama.

Lalu bagaimana caranya mewujudkan Indonesia lebih baik? “Didik saja anaknya dan kasih makan yang benar,”katanya.

http://pmbs.ac.id/s2/