Power of View
Sigit Pramono,Ketua Umum Perhimpunan
Bank Nasional (Perbanas)

Perlu Bank Besar Untuk Bangsa Yang Besar

BANK seperti jantung, menghimpun darah lalu mengolah dan mengembalikan ke organ-organ lain.

Siapa bankir yang tidak mengenal nama Sigit Pramono? Ia telah menjadi bankir lebih dari tiga puluh tahun.

Sejumlah bank besar pernah ia pimpin, antara lain Bank Negara Indonesia (BNI), sebagai Direktur Utama, dan sebagai Presiden Direktur di Bank Internasional Indonesia (BII). Kini Sigit menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) untuk ketiga kalinya.

Lulus sarjana ekonomi dari Universitas Diponegoro pada 1983, kariernya di dunia perbankan langsung bersinar. Saat menjabat Wakil Presiden Direktur Bank Merincorp, ia memperdalam ilmu Manajemen Internasional di Prasetiya Mulya Business School.

“Kekuatan Prasetiya Mulya adalah para pengajar yang berasal dari praktisi di bidang masing-masing,” ujarnya. Sigit meraih gelar Magister Manajemen dari Prasetiya Mulya pada 1995.

Sebagai bankir yang berpengalaman, Sigit tahu persis pentingnya perbankan bagi perekonomian. “Persis seperti jantung, menghimpun darah lalu mengolah dan mengembalikan ke organ-organ lain,” ujarnya dalam sebuah kesempatan wawancara di Jakarta pekan lalu.

Dalam pasang surut perekonomian, Indonesia pernah mengalami beberapa kali krisis. Krisis terhebat terjadi di tahun 97-98, jantung kita benar-benar collapse, dari 240 bank pada saat itu, ada 100 lebih bank yang ditutup, ada yang direkapitulasi, dan ada yang bertahan hingga saat ini kurang lebih 118 bank. Itu menjadi bukti, jika perbankan collapse, perekonomian akan terganggu.

Bahkan krisis yang terjadi tidak hanya krisis perbankan, tapi menjalar menjadi krisis politik.

Kita juga sempat mengalami krisis kecil yang lain, seperti krisis Bank Century di tahun 2008, yang dampaknya hingga saat ini belum dapat diselesaikan, karena menjalar ke area politik. Di tahun 2013 juga kita mengalami krisis yang cukup hebat, kita beruntung sudah berpengalaman di krisis sebelumnya, sehingga tidak menjadi krisis yang tak terkendali dan merugikan bangsa ini.

“Karena itu, perekonomian yang sehat memerlukan perbankan yang juga sehat,” kata penggemar fotografi itu. “Demikian pula, agar ekonomi tumbuh kuat perlu didukung bank yang kuat,” kata Sigit.

Indonesia sedang tumbuh. Bahkan, World Bank telah menetapkan Indonesia berada di peringkat 10 dunia berdasarkan Gross Domestic Product (GDP) purchasing power imparity. Berada di peringkat pertama adalah Amerika Serikat diikuti Cina di peringkat kedua.

“Tahun 2030 kita diharapkan menjadi negara dengan produk domestik bruto pada urutan enam atau tujuh besar dunia. Luar biasa.

Kita tidak bisa dianggap enteng,” ujar Sigit. Tantangannya adalah negara dengan kemampuan ekonomi besar memerlukan bank yang juga besar.

Tidak lupa, ia menyebutkan tentang Bank Syariah yang bersatu menjadi Bank Syariah Indonesia, dimana Bank Syariah bisa menjadi alternatif pembiayaan untuk masyarakat yang membutuhkan. Harapannya, ketiga bank ini akan menjadi bank yang sangat besar yang bisa berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi kita ke depan.

Cina, ujar Sigit, memiliki kemampuan ekonomi yang ditengarai sudah menyalip Amerika dari sisi produk domestik bruto. Nah, Cina memiliki bank di urutan pertama bank terbesar dunia, yaitu Industrial Commercial Bank of Cina (ICBC).

Bank terbesar di Indonesia adalah Bank Mandiri. Namun, ujar Sigit, di ASEAN Bank Mandiri masih di posisi 10. “Bayangkan, negara dengan kemampuan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, bank-nya hanya berada di urutan ke-10,” kata Sigit.

Urutan pertama ditempati oleh DBS Bank dari Singapura, dan selanjutnya berturut-turut adalah United Overseas Bank (UOB) dari Singapura, dan Oversea-Chinese Banking Corporation (OCBC) dari Singapura. Urutan ke-4 hingga ke-6 diduduki oleh Bank Malaysia yaitu CIMB, Maybank, dan Public Bank. Sementara posisi ke-7 hingga ke-9 ditempati oleh bank dari Thailand.

Sigit mengatakan, jika Indonesia dengan kemampuan ekonomi 10 besar di dunia tidak memiliki bank yang besar, maka pelaku ekonomi akan mencari bank asing. “Artinya, berkah dari pertumbuhan ekonomi akan dinikmati oleh bank-bank asing,” ujarnya.

Tentu saja itu tak boleh terjadi. Bank negeri ini, kata dia, harus mengambil manfaat dari potensi ekonomi yang terus membesar.

Menurut Sigit, sulit untuk mencegah atau menghalangi bank-bank asing, karena mereka memiliki kemampuan yang bagus serta jaringan yang luas. Satu-satunya jalan adalah memperbesar kemampuan bank domestik untuk mendukung perekonomian bangsa sekaligus menggugah nasionalisme agar kita tidak kalah dengan bank asing. “Kalau tidak kita semakin ketinggalan,” ujarnya.

http://pmbs.ac.id/s2/