Power of View
Ir. Tato Miraza, SE., M.M. Direktur
Utama PT ANTAM (Persero) Tbk

Mewujudkan Pertambangan Ramah Lingkungan

Kini begitu banyak izin usaha pertambangan baru, bahkan di area pascatambang yang telah dihijaukan, yang membuat praktek pertambangan sulit dikontrol.

Aktivitas pertambangan ibarat dua sisi mata uang yang berlawanan. Di satu sisi pertambangan membawa kemakmuran, di sisi lain bisa membawa petaka. Petaka yang muncul adalah kerusakan lingkungan di sekitar area tambang jika perusahaan tambang melakukan praktek pertambangan yang tidak bertanggung jawab.

Namun, sebaliknya, jika perusahaan-perusahaan menerapkan praktek pertambangan yang baik (good mining practices), sisi positif pertambangan akan lebih banyak dirasakan. Pertambangan memasok kebutuhan energi Indonesia sekaligus menyumbang pendapatan negara. Tahun lalu, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan lebih dari Rp33 triliun dan tahun ini ditargetkan mencapai Rp39,6 triliun.

Menurut Ir. Tato Miraza, S.E., M.M., Direktur Utama PT ANTAM (Persero) Tbk (ANTAM), setiap usaha pertambangan idealnya menerapkan praktek pertambangan yang baik. Dan, praktek pertambangan yang baik itu telah diatur begitu ketat oleh pemerintah. “Tapi, orang Indonesia itu cenderung ingin mudah dan praktis, sehingga jika ada satu regulasi yang sudah baik namun dirasa memberatkan, maka dicarilah celahnya,” kata alumnus Magister Manajemen Prasetiya Mulya Business School ini.

Petaka dari praktek pertambangan muncul ketika perusahaan penambang meninggalkan area tambangnya begitu saja setelah sumber dayanya habis. Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan seperti itu bukan perkara remeh, mulai dari tanah longsor, banjir, pencemaran air, sampai dengan hancurnya suatu lingkungan . Kita harus melakukan pengawasan ekstra ketat.

Sebagai pemimpin BUMN pertambangan, Tato tentu mengharuskan ANTAM menerapkan praktek tambang yang baik, dengan mengikuti aturan yang ada, di seluruh area kerjanya. Salah satu contohnya adalah mengembalikan lahan pascatambang ke fungsi sebelumnya. Praktek ini dilakukan di lahan bekas tambang pasir besi di Cilacap dan Kutoarjo, Jawa Tengah, yang kini dijadikan lahan pertanian. Begitu juga dengan lahan bekas tambang bauksit di Pulau Bintan yang kini dikembalikan sebagai hutan.

Persoalannya, kini muncul begitu banyak I zin Usaha Pertambangan (IUP) baru, bahkan tidak jarang dikeluarkan di area pascatambang yang telah dihijaukan. Dan, IUP-IUP baru itu sering kali tidak menerapkan praktek pertambangan yang baik.

Di Pomalaa, misalnya, dulu hanya ANTAM yang beroperasi sehingga jika ada dampak negatif karena praktek pertambangan, mudah mencari penanggung jawabnya. Kini IUP di daerah itu begitu banyak sehinggga seringkali sulit menemukan pelaku perusakan lingkungan. Kalau sudah begitu, yang kerap kali disalahkan adalah perusahaan besar seperti ANTAM. “Ini memang tidak adil dan menjadi persoalan berat bagi kami. Tapi, kami tidak boleh capek untuk menghadapinya,” kata laki-laki kelahiran Jakarta, 9 Februari 1968 ini.

Berbagai upaya pun terus dilakukan agar semua perusahaan tambang memiliki kesadaran bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya berdampak buruk bagi masyarakat sekitar, tetapi juga bagi perusahaan itu sendiri.

http://pmbs.ac.id/s2/