Power of View
Sigit Pramono,Ketua Umum Perhimpunan
Bank Nasional (Perbanas)

Pembangunan Perlu Bank Infrastruktur

Membangun infrastruktur butuh kredit jangka panjang.

Infrastruktur merupakan salah satu faktor terpenting untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Namun, biayanya yang mahal membuat pembangunan sektor infrastruktur tak bisa serta merta dilakukan. Sigit Pramono mengusulkan jalan keluar agar pembangunan sektor infrastruktur berjalan lancar. “Dirikan bank infrastruktur,” ujar bankir senior itu ketika diwawancarai pekan lalu.

"Hingga sekarang, Indonesia tidak punya bank ini, padahal untuk membangun infrastruktur butuh kredit jangka panjang," ia menekankan.

Sigit Pramono adalah Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas). Menjabat ketua untuk ketiga kalinya, ia telah malang-melintang di dunia perbankan selama 30 tahun lebih.

“Dalam perjalanan karir saya, pendidikan S2 di Prasetiya Mulya Business School membantu saya dalam mengambil berbagai keputusan strategi,” Sigit bercerita. “Pengambilan keputusan dan strategi menjadi hal penting bagi saya sebagai CEO karena menentukan arah ke depan, termasuk berpengaruh pada visi dan misi saya.”

Bank Infrastruktur adalah salah satu visi strategiknya. Menurut Sigit, bank-bank di Indonesia saat ini hanya berupa bank umum yang menghimpun dan mengelola dana dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito, yang merupakan sumber dana jangka pendek. "Bayangkan jika sumber dana jangka pendek digunakan untuk membiayai jalan tol yang kreditnya mungkin membutuhkan waktu panjang. Berarti telah terjadi mismatch," ujar Komisaris Independen PT. BCA Tbk ini.

Dalam bukunya Mimpi Punya Bank Besar—ia menamakan Bank Infrastruktur itu sebagai Bank Pembangunan Indonesia (BPI)—bergerak khusus membiayai proyek-proyek infrastruktur dan investasi jangka panjang. Proyek itu misalnya jalan tol, pelabuhan, hingga bandara.

Sigit mengakui ada pro kontra dengan ide pendirian BPI. Ada yang beranggapan, misalnya, jumlah dana untuk pendirian BPI sebesar Rp 100 triliun seharusnya bisa digunakan langsung untuk membangun jalan atau sekolah, ketimbang membuat bank. "Saya menjawab begini, jika Anda gunakan Rp 100 triliun itu untuk membangun jalan, maka sekali digunakan akan habis," kata dia.

Jangankan BPI yang besar dan spesifik, merger bank Mandiri dan BTN saja batal, padahal hanya mengubah kepemilikan BTN. "Dengan pemilik BTN adalah bank, maka tidak sulit jika BTN ingin menumbuhkan modal. KPR sebesar apapun menjadi lebih mudah, karena induknya adalah bank,” ujar pria yang juga memprakarsa Jazz Gunung ini

Lebih jauh Sigit menyatakan, BPI kemudian bisa digabung dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) di seluruh Indonesia. Dengan demikian, pemerintah daerah tidak perlu memiliki bank sendiri-sendiri yang kecil. "Gubernur, walikota, bupati, nantinya akan menjadi pemilik atau stakeholder. Jika mereka memerlukan dana untuk pembangunan jembatan misalnya, bisa menggunakan dana BPI," ujar Sigit.

China adalah contoh negara yang mengalami kemajuan dengan membangun infrastrukturnya. Dalam acara Bankers Dinners pada November 2014 lalu yang dihadiri Presiden Joko Widodo, Presiden menceritakan pertemuannya dengan Kepala Negera China Xi Jinping di acara APEC CEO Summit. Jokowi ketika itu menanyakan resep kemajuan China. Xi Jinping, kata Joko Widodo, menyebut pembangunan infrastruktur sebagai salah satunya. “Selain partai yang bersatu dan gagasan yang besar dengan orientasi jangka panjang,” ujar Sigit mengutip cerita Joko Widodo.

Keberhasilan pembangunan infrastruktur di China, menurut Sigit, tidak lepas dari peran bank infrastruktur di negara tersebut. China memiliki China Development Bank (CDB) yang didirikan pada tahun 1994 dan berfungsi khusus untuk membiayai pembangunan infrastruktur. "Saya yakin, di Indonesia BPI dapat menjadi cara membangun infrastruktur. Jadi harus diwujudkan," ujar Sigit.

http://pmbs.ac.id/s2/