Severity: 8192
Message: preg_replace(): The /e modifier is deprecated, use preg_replace_callback instead
Filename: libraries/Pagination.php
Line Number: 2
Backtrace:
File: /mnt/data/microsite/www/jendelaMPR-RI/application/controllers/Detail.php
Line: 14
Function: __construct
File: /mnt/data/microsite/www/jendelaMPR-RI/index.php
Line: 292
Function: require_once
07 DESEMBER 2015 | 13.02
Usaha mewujudkan substansi demokrasi terkendala oleh hambatan-hambatan kultural , institusional, dan struktural.
INFO MPR - MPR RI bekerjasama dengan asosiasi pengajar hukum tatanegara dan hukum administrasi negara mengadakan simposium kebangsaan bertema “Refleksi Nasional Praktik Konstitusi dan Ketatanegaraan Pasca Reformasi” di Gedung Nusantara IV, Kompleks MPR/DPR/DPD, Senin, 7 Desmeber 2015. Acara ini dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, dan sejumlah pejabat negara lainnya.
Dalam sambutannya, Ketua MPR Zulkifli Hasan menyampaikan refleksi akhir tahun melalui simposium kebangsaan ini menjadi penting untuk diselenggarakan bersama, tidak saja sebagai momentum untuk menyikapi apa yang telah diikhtiarkan bersama untuk bangsa dan negara Indonesia, tapi juga sebagai momentum penguatan persatuan dalam rangka mewujudkan janji-janji kebangsaan sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. “Setelah belasan tahun reformasi digulirkan, inilah saat yang tepat bagi kita untuk melakukan refleksi secara jernih, jujur, dan kritis, tentang praktik konstitusi dan ketatanegaraan pasca reformasi, untuk menilai perubahan konstitusi dan praktik ketatanegaraan mana yang berdampak positif dan mana pula yang melahirkan ekses yang kurang baik, dengan semangat melahirkan yang terbaik untuk kemaslahatan dan kemajuan bangsa kita,” ujarnya.
Berbagai langkah untuk mendemokratisasikan institusi dan politik Indonesia telah dilakukan dengan sejumlah transformasi yang nyata. Hal ini bisa terlihat dari pemilu yang relatif bebas dan berkala, adanya kebebasan berkumpul dan berakspresi, munculnya institusi-institusi kenegaraan baru,, keleuasaan akses informasi, desentralisasi dan otonomisasi daerah, perkembangan pembangunan daerah dan wilayah pinggiran, serta pemilihan presiden yang dilakukan secara lebih kompetitif. Tapi Zulkifli mengingatkan meski ada capaian-capaian positif ini, masyarakat harus tetap waspada bahwa semua perkembangan ini hanya merupakan tahap awal dari proses panjang menuju konsolidasi demokrasi dan kemajuan bangsa. Tahap konsolidasi ini menghendaki perhatian pada segi-segi substantif. Menurut Zulkifli, konsolidasi demokrasi harus menjamin terwujudnya esensi demokrasi, yakni pemberdayaan rakyat dan pertanggungjawaban sistemik.
Ia melihat usaha mewujudkan substansi demokrasi pada kenyataannya terkendala oleh hambatan-hambatan kultural , institusional, dan struktural. Pada tingkat kultural, selama era reformasi politik sebagai teknik mengalami kemajuan, tapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Pemerintahan demokrasi tidak diikuti oleh meritokrasi untuk menghargai orang-orang berprestasi . Pada tingkat institusional, desain institusi birokrasi terlalu difokuskan pada kekuatan alokatif atau sumber dana ketimbang kekuatan otoritatif atau kapasitas manusia. Politik padat modal membuat biaya kekuasaan tinggi. Demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat daulat segelintir orang. Demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita nasionalisme justru memunculkan provinsialisme. Demokrasi yang mestinya mengembangkan partisipasi kekuatan dan daulat rakyat justru mengembangkan ketidaksetaraan yang menimbulkan kekecewaaan dan ketidakberdayaan.
Selain itu, pada tingkat struktural cenderung mengadopsi model-model demokrasi liberal padat modal tanpa menyesuaikannya secara seksama dengan kondisi sosial masyaraklat Indonesia. Itu justru dapat melemahkan demokrasi itu sendiri.
Meski perkembangan demokrasi pasca reformasi masih memperlihatkan berbagai kelemahan dan permasalahan, namun menurut Zulkifli, cara mengatasi itu tidak harus mengurangi atau menghilangkan demokrasi, melainkan justru menambahkan agar menjadi lebih demokratis. Karena itu perlu ada pendalaman dan perluasan demokrasi . Pendalaman demokrasi diarahkan untuk mengubah institusi-institusi demokrasi agar lebih sesuai dengan prinsip -prinsip kebangsaan, kepatutan etik, serta lebih responsif dan aspiratif terhadap kepentingan rakyat. Untuk itu perlu adanya inisiatif untuk menataulang visi demokrasi berdasarkan revitalisasi dan transformasi untuk memulihkan kembali kondisi bangsa dengan cara mendasarkan kembali pilihan-pilihan kebijakan dan pembangunan pada nilai-nilai luhur bangsa, yaitu Pancasila. Transformasi dilakukan dengan jalan menawarkan hal-hal yang lebih baik , lebih semangat, lebih kuat dengan tetap mempertimbangkan toleransinya yang berbasis nilai-nilai Pancasila.
Dalam rangka melakukan pendalaman dan perluasan demokrasi berlandaskan visi revitaliasai dan transformasi, Badan Pengkajian MPR telah memformulasikannya ke dalam empat pokok masalah. Pertama, perlunya reformasi pembangunan nasional model Bung Karno, yaitu pembangunan semesta berencana. Kedua, bagaimanana memperkokoh ideologi bangsa dalam menghadapi tantangan global. Ada keharusan Pancasila harus dapat mengantarkan Indonesia menuju negara demokrasi modern. Hal yang mendesak adalah merumuskan kembali nilai-nilai Pnacasila di tengah perubahan tatanan sosial, khususnya revitalisasi Pancasila di tengah-tengah arus globalisasi. Ketiga, bagaimana memaknai kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Keempat, menijau ulang praktik konstitusi dan ketatanegaraan pasca reformasi. (*)
16 DESEMBER 2015 | 14.48
16 DESEMBER 2015 | 14.47
16 DESEMBER 2015 | 14.47